Manajemen Konflik
Oleh: Nur Fahimah
Pengaruh Konflik
Berbicara
tentang konflik dalam organisasi khususnya lingkup pendidikan, maka para
manajer dituntut untuk menjadi seorang partisipan yang terampil dalam dinamika
konflik. Sehingga secara tidak langsung para manager juga terlibat dalam sebuah
konflik, yang mana dalam hal ini para manajer seringkali menjadi pihak
penengah.[1]
Konflik
dapat dihadapi dengan berbagai cara, salah satunya yakni bersikap tak acuh
terhadapnya : suatu konflik jika semakin dilawan, hal ini akan semakin
memperburuk keadaan. Misal saja, dengan tidak meladeni, “ah lebih baik saya
pergi, daripada ucapan saya nantinya akan menyakitinya”[2]
Dsudjana
menjabarkan tentang konflik dan pengaruhnya dalam organisasi, bahwa pada satu
pihak konflik dapat membahayakan keharmonisan kelompok apabila konflik tersebut
merupakan konflik yang dapat memunculkan perbuatan saling menjatuhkan atau
biasa disebut dengan konflik destruktif, yang mana konflik ini dapat menghambat
upaya bersama dalam mencapai tujuan organisasi.
Dipihak lain, konflik dapat menguntungkan
kegiatan kelompok apabila hal itu memancing timbulnya gagasan baru untuk
meningkatkan efisiensi dan efektifitas kegiatan kelompok, mengarahkan
kreatifitas kelompok dalam memecahkan masalah yang dihadapi, menjaga agar
kelompok selalu memperdulikan berbagai kepentingan anggotanya karena senantiasa
tanggap terhadap kebutuhan anggotanya.
Pandangan
pertama menekankan bahwa konflik merupakan bahaya yang suatu saat bisa
mengancam keberadaan dan kelangsungan organisasi/lembaga. Sementara itu,
pandangan kedua menekankan bahwa konflik adalah tantangan yang dapat dijadikan
sebagai pancingan untuk memacu kemajuan lembaga/organisasi.
Dalam pandangan kedua ini, terdapat respon
positif dengan adanya sebuah konflik. Namun demikian, kedua pandangan tersebut
dapat disatukan dengan kesepakatan bahwa perlu adanya manajemen konflik.[3]
Manajemen Konflik
Wirawan
dalam bukunya, mendefinisikan manajemen konflik sebagai proses pengendalian
konflik oleh pihak yang terlibat atau pihak ketiga, dengan melakukan penyusunan
sebuah strategi dan menerapkannya, hal ini agar menghasilkan resolusi sesuai
dengan apa yang diinginkan.
Dari
definisi yang diungkapkan wirawan, terdapat sejumlah kata kunci yang memerlukan
penjelasan lebih jauh.
1. Pihak yang terlibat atau pihak ketiga
Pihak yang terlibat merupakan mereka yang
berupaya mengelola konflik untuk menciptakan solusi yang saling menguntungkan
“win-win solution”
Sedangkan pihak ketiga merupakan pihak
penyelesai atau seseorang yang mendapat tugas dari pihak-pihak yang terlibat
konflik untuk menyelesaikan konflik mereka. Pihak ketiga bisa berupa organisasi
atau perusahaan, contohnya seperti ombudsman, mediator, arbiter, dll.
2. Strategi konflik
Strategi sangatlah dibutuhkan untuk mengendalikan konflik,
sehingga ketika sebuah konflik tidak dikendalikan dapat menjadikan semakin
rumitnya konflik. Hal ini dikarenakan pihak yang terlibat tidak lagi
memfokuskan perhatian mereka untuk mengembangkan produktivitas, melainkan
terfokus untuk merusak dan menghancurkan lawan konfliknya. Sehingga dapat
mempengaruhi berjalannya kinerja 3T (tepat guna, tepat sasaran, tepat waktu).
3. Mengendalikan konflik
Konflik merupakan suatu aktivitas untuk mengendalikan
atau merubah konflik yang tadinya bersifat destruktif menjadi konstruktif,
sehingga menghasilkan sesuatu yang menguntungkan dan tidak memberikan kerugian.
4. Resolusi konflik
Konflik oleh pihak terlibat bertujuan menciptakan
solusi yang menguntungkan
Konflik oleh pihak ketiga bertujuan untuk menciptakan
solusi yang bisa terima oleh pihak-pihak yang terlibat konflik.
5. Kemampuan beradaptasi
Organisasi yang sehat mampu beradaptasi dengan setiap
perubahan lingkungan yang ada.
6. Memfokuskan pada tujuan
Organisasi yang sehat akan memfokuskan aktivitas
mereka pada pencapaian tujuan.[4]
Tujuan dengan
adanya manajemen konflik, salah satunya yakni untuk memahami orang lain dan
menghormati keberagaman. Dalam suatu organisasi pastinya terdapat berbagai
orang dengan kemampuan dan kepribadian yang berbeda-beda. Organisasi tidak akan
dapat berjalan tanpa adanya kerja tim, yang menggabungkan berbagai perbedaan
anggota. Oleh karena itu, manajemen konflik penting untuk mengarahkan
pihak-pihak yang terlibat konflik agar mereka memahami serta menghormati
keberagaman yang ada dalam organisasi. Sehingga hal ini dapat meminimalisir
sebuah resiko konflik.[5]
Gaya Manajemen Konflik
Adanya suatu
konflik menjadikan seseorang berperilaku tertentu untuk menghadapi lawannya.
Perilaku tersebut membentuk suatu pola, pola perilaku orang dalam menghadapi
situasi konflik disebut sebagai gaya manajemen konflik.
Semisal,
pemimpin autokratis cenderung menggunakan gaya manajemen konflik represif,
supresif, kompetitif, serta agresif, dan berupaya mengalahkan lawan konfliknya.
Sebaliknya, seorang pemimpin yang demokratis jika menghadapi sebuah konflik, ia
akan memusyawarahkan, mendengarkan pendapat lawan konfliknya, dan mencari win
& win solution.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Gaya
Manajemen Konflik
Dibawah ini beberapa faktor yang
diungkapkan oleh wirawan dalam bukunya :
1. Asumsi serta persepsi mengenai konflik
Sebuah asumsi dapat mempengaruhi perilaku
seseorang.
Semisal, birokrat yang berpendapat bahwa
konflik merupakan sesuatu yang buruk, mereka akan berusaha untuk mengalahkan
lawannya, dengan menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi. Mereka
menganggap bahwa konflik merupakan pelanggaran norma, peraturan atau tatanan
birokrasi.
Sebaliknya, birokrat yang menganggap
konflik adalah sebuah resiko yang harus dihadapi, atau suatu hal yang dapat
memperbaiki kinerjanya, mereka akan menggunakan gaya manajemen konflik kompromi
atau kolaborasi dalam penyelesaian.
2. Ekspektasi atas reaksi lawan konfliknya
Mereka yang menyadari bahwa ia sedang
menghadapi konflik, akan menyusun strategi dan taktik untuk menghadapi lawannya.
Jika ia memprediksi bahwa lawannya akan menggunakan gaya manajemen konflik
kompetisi dan agresi maka ia juga akan melakukan hal yang sama untuk
menghadapinya. Yakni dengan berkompetisi dan melawan agresi lawan konfliknya.
3. Pola komunikasi dalam interaksi konflik
komunikasi antara kedua pihak juga
berpengaruh pada gaya mereka dalam menghadapi masalah. Jika mereka memiliki
komunikasi yang sehat, mereka akan menghadapi masalah/konflik dengan cara
musyawarah atau kolaborasi. Sebaliknya, jika mereka memiliki komunikasi yang
tidak sehat, maka dalam penyelesaian masalah lebih pada saling mengalahkan satu
sama lain.
4. Jenis kelamin
Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa jenis
kelamin juga dapat berpengaruh terhadap gaya manajemen konflik yang
digunakannya. Gaya manajemen konflik antara wanita dengan laki-laki memiliki
perbedaan. Wanita seringkali lebih ke perasaan, dll.
5. Kepribadian
Seseorang yang berkepribadian pemberani,
garang, tidak sabar, dan berambisi untuk menang cenderung memilih gaya
kompetisi. Sedangkan seseorang yang penakut, dan pasif cenderung untuk
menghindari konflik.
6. Dll.[6]
[1] Winardi. 2007. Manajemen Konflik “Konflik Perubahan dan Pengembangan”.
Bandung: CV. Mandar Maju. Hlm. 17
[4] Wirawan, 2010. Konflik Dan Manajemen Konflik “Teori, Aplikasi, dan
Penelitian”. Jakarta: Salemba Humanika. Hlm 129-130
[5] Ibid., hlm 132
[6] Ibid., hlm 134-138
Komentar
Posting Komentar